Lokasi

https://goo.gl/maps/sHQx3zNBn9bhHFuR8

Translate

Minggu, 26 Oktober 2008

Say No Smoking!!!


Today most people have heard the statement "secondhand smoke kills." But in society's increasing awareness of the health dangers of tobacco, of the lies manufactured by the tobacco industry, and of an emerging body of law supporting smokefree policies, it is not enough to simply state "secondhand smoke kills" without knowing how secondhand smoke is a health danger, whom it affects, where exposure is the most serious, and what can be done to stop it.
Throughout the years, the science of secondhand smoke has driven the secondhand smoke policy engine from separate smoking and nonsmoking sections to separately ventilated smoking rooms to 100% smokefree environments. We now know that 53,800 people die every year from secondhand smoke exposure. This number is based on the midpoint numbers for heart disease deaths (48,500), lung cancer deaths (3,000), and SIDS deaths (2,300) as calculated in the 1997 California EPA Report on Secondhand Smoke. And children are at significant risk to many acute and chronic diseases as a result of secondhand smoke exposure.
In 2007, a study using magnetic resonance imaging (MRI) technology was able to detect damage in the lungs of nonsmokers exposed to secondhand smoke. For more information on this study, read the study's abstract. (Courtesy of RSNA and Chengbo, Wang, PhD.)
CNN also produced a video news story about the study, which can be viewed online here.

To view a larger image of the MRI scans, click on the image itself.

Courtesy of RSNA and Chengbo, Wang, PhD.
Since the 1986 Surgeon General's Report titled The Health Consequences of Involuntary Smoking stated that secondhand smoke can cause disease in nonsmokers, hundreds of studies have concluded not only this, but that exposure to secondhand smoke can result in death. Over the past 20 years, scientific research has become even more clear, resulting now in the ability to pinpoint the effects of secondhand smoke not just on particular organs, but on various ethnicities, types of workers, and socioeconomic classifications.
The 2006 Surgeon General's Report on The Health Consequences of Involuntary Exposure to Tobacco Smoke confirmed the known health effects of secondhand smoke exposure, including immediate adverse effects on the cardiovascular system, and coronary heart disease and lung cancer. The report concluded that there is no safe level of exposure to secondhand smoke and that establishing smokefree environments is the only proven way to prevent exposure. The report also finds that many millions of Americans are still exposed to secondhand smoke despite substantial progress in tobacco control. Here is the great video shown at the Surgeon General press conference in June 2006.
As the body of scientific evidence becomes larger and more precise, it is now possible to prove that smokefree policies not only work to protect nonsmokers from the death and disease caused by exposure to secondhand smoke, but also have an immediate effect on the public's health . On a larger scale, a study has confirmed that restaurants and bars located in smokefree cities have 82% less indoor air pollution than restaurants and bars in cities that do not have smokefree protection. Because of the mountain of evidence from these peer-reviewed, scientific studies, the Centers for Disease Control recently issued a warning for anyone at risk for heart disease to avoid smoke-filled indoor environments completely.
Secondhand smoke kills. Knowing the science behind it, as well as how smokefree policies protect the public from secondhand smoke, will help cement this in the minds of the public.

from : www.no-smoke.org

Selasa, 14 Oktober 2008

Obat Kanker Herbal


Satu lagi tanaman ajaib ditemukan di Indonesia. Namanya “keladi tikus”. Ia terbukti bisa membunuh berbagai jenis sel kanker dalam waktu relatif singkat. Di Malaysia, tanaman ini sudah dikembangkan oleh seorang profesor ahli kanker dan telah berhasil membantu ribuan pasien di seluruh dunia. Kanker tidak lagi mematikan. Para penderita kanker di Indonesia dapat memiliki harapan hidup yang lebih lama dengan ditemukannya tanaman “keladi tikus” (Typhonium Flagelliforme/Rodent Tuber) sebagai tanaman obat yang dapat menghentikan dan mengobati berbagai penyakit kanker dan berbagai penyakit berat lain.


Tanaman sejenis talas dengan tinggi maksimal 25 sampai 30 sentimeter ini hanya tumbuh di semak yang tidak terkena sinar matahari langsung. “Tanaman ini sangat banyak ditemukan di Pulau Jawa,” kata Drs Patoppoi Pasau, orang pertama yang menemukan tanaman itu di Indonesia. Tanaman obat ini telah diteliti sejak tahun 1995 oleh Prof Dr Chris K.H. Teo, Dip Agric (M), BSc Agric (Hons)(M), MS, PhD dari Universiti Sains Malaysia dan juga pendiri Cancer Care Penang, Malaysia. Lembaga perawatan kanker yang didirikan tahun 1995 itu telah membantu ribuan pasien dari Malaysia, Amerika, Inggris, Australia, Selandia baru, Singapura, dan berbagai negara di dunia. Di Indonesia, tanaman ini pertama ditemukan oleh Patoppoi di Pekalongan, Jawa Tengah. Ketika itu, istri Patoppoi mengidap kanker payudara stadium III dan harus dioperasi 14 Januari 1998. Setelah kanker ganas tersebut diangkat melalui operasi, istri Patoppoi harus menjalani kemoterapi (suntikan kimia untuk membunuh sel, Red) untuk menghentikan penyebaran sel-sel kanker tersebut. “Sebelum menjalani kemoterapi, dokter mengatakan agar kami menyiapkan wig (rambut palsu) karena kemoterapi akan mengakibatkan kerontok an rambut, selain kerusakan kulit dan hilangnya nafsu makan”, jelas Patoppoi. Selama mendampingi istrinya menjalani kemoterapi, Patoppoi terus berusaha mencari pengobatan alternatif sampai akhirnya dia mendapatkan informasi mengenai penggunaan teh Lin Qi di Malaysia untuk mengobati kanker. “Saat itu juga saya langsung terbang ke Malaysia untuk membeli teh tersebut,” ujar Patoppoi yang juga ahli biologi. Ketika sedang berada di sebuah toko obat di Malaysia, secara tidak sengaja dia melihat dan membaca buku mengenai pengobatan kanker yang berjudul Cancer, Yet They Live karangan Dr Chris K.H. Teo terbitan 1996. “Setelah saya baca sekilas, langsung saja saya beli buku tersebut. Begitu menemukan buku itu, saya malah tidak jadi membeli teh Lin Qi, tapi langsung pulang ke Indonesia,” kenang Patoppoi sambil tersenyum. Di buku itulah Patoppoi membaca khasiat typhonium flagelliforme itu. Berdasarkan pengetahuannya di bidang biologi, pensiunan pejabat Departemen Pertanian ini langsung menyelidiki dan mencari tanaman tersebut. Setelah menghubungi beberapa koleganya di berbagai tempat, familinya di Pekalongan, Jawa Tengah, balas menghubunginya. Ternyata, mereka menemukan tanaman itu di sana. Setelah mendapatkan tanaman tersebut dan mempelajarinya lagi, Patoppoi menghubungi Dr. Teo di Malaysia untuk menanyakan kebenaran tanaman yang ditemukannya itu. Selang beberapa hari, Dr Teo menghubungi Patoppoi dan menjelaskan bahwa tanaman tersebut memang benar Rodent Tuber. “Dr Teo mengatakan agar tidak ragu lagi untuk menggunakannya sebagai obat,” lanjut Patoppoi. Akhirnya, dengan tekad bulat dan do’a untuk kesembuhan, Patoppoi mulai memproses tanaman tersebut sesuai dengan langkah-langkah pada buku tersebut untuk diminum sebagai obat. Kemudian Patoppoi menghubungi putranya, Boni Patoppoi di Buduran,Sidoarjo untuk ikut mencarikan tanaman tersebut. “Setelah melihat ciri-ciri tanaman tersebut, saya mulai mencari di pinggir sungai depan rumah dan langsung saya dapatkan tanaman tersebut tumbuh liar di pinggir sungai,” kata Boni yang mendampingi ayahnya saat itu. Selama mengkonsumsi sari tanaman tersebut, isteri Patoppoi mengalami penurunan efek samping kemoterapi yang dijalani nya. Rambutnya berhenti rontok, kulitnya tidak rusak dan mual-mual hilang. “Bahkan nafsu makan ibu sayapun kembali normal,” lanjut Boni. Setelah tiga bulan meminum obat tersebut, isteri Patoppoi menjalani pemeriksaan kankernya. “Hasil pemeriksaan negatif, dan itu sungguh mengejutkan kami dan dokter-dokter di Jakarta,” kata Patoppoi. Para dokter itu kemudian menanyakan kepada Patoppoi, apa yang diberikan pada isteri nya. “Malah mereka ragu, apakah mereka telah salah memberikan dosis kemoterapi kepada kami,” lanjut Patoppoi. Setelah diterangkan mengenai kisah tanaman Rodent Tuber, para dokter pun mendukung pengobatan dukungan tersebut dan menyarankan agar mengembangkan nya. Apalagi melihat keadaan isterinya yang tidak mengalami efek samping kemoterapi yang sangat keras tersebut. Dan pemeriksaan yang seharusnya tiga bulan sekali diundur menjadi enam bulan sekali. “Tetapi karena sesuatu hal, para dokter tersebut tidak mau mendukung secara terang-terangan penggunaan tanaman sebagai pengobatan alternatif,” sambung Boni sambil tertawa. Setelah beberapa lama tidak berhubungan, berdasarkan peningkatan keadaan isterinya, pada bulan April 1998, Patoppoi kemudian menghubungi Dr. Teo melalui fax untuk menginformasikan bahwa tanaman tersebut banyak terdapat di Jawa dan mengajak Dr.Teo untuk menyebarkan penggunaan tanaman ini di Indonesia. “Kemudian Dr. Teo langsung membalas fax kami, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat, karena jarak yang jauh,” sambung Patoppoi. Meskipun Patoppoi mengusulkan agar buku mereka diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan disebar-luaskan di Indonesia, Dr. Teo menganjurkan agar kedua belah pihak bekerja sama dan berkonsentrasi dalam usaha nyata membantu penderita kanker di Indonesia. Kemudian, pada akhir Januari 2000 saat Jawa Pos mengulas habis mengenai meninggalnya Wing Wiryanto, salah satu wartawan handal Jawa Pos, Patoppoi sempat tercengang. Data- data rinci mengenai gejala, penderitaan, pengobatan yang diulas di Jawa Pos, ternyata sama dengan salah satu pengalaman pengobatan penderita kanker usus yang dijelaskan di buku tersebut. Dan eksperimen pengobatan tersebut berhasil menyembuhkan pasien tersebut. “Lalu saya langsung menulis di kolom Pembaca Menulis di Jawa Pos,” ujar Boni. Dan tanggapan yang diterimanya benar-benar diluar dugaan. Dalam sehari, bisa sekitar 30 telepon yang masuk. “Sampai saat ini, sudah ada sekitar 300 orang yang datang ke sini,” lanjut Boni yang beralamat di Jl. KH. Khamdani, Buduran Sidoarjo. Pasien pertama yang berhasil adalah penderita Kanker Mulut Rahim stadium dini. Setelah diperiksa, dokter mengatakan harus dioperasi. Tetapi karena belum memiliki biaya dan sambil menunggu rumahnya laku dijual untuk biaya operasi, mereka datang setelah membaca Jawa Pos. Setelah diberi tanaman dan cara meminumnya, tidak lama kemudian pasien tersebut datang lagi dan melaporkan bahwa dia tidak perlu dioperasi, karena hasil pemeriksaan mengatakan negatif. Berdasarkan animo masyarakat sekitar yang sangat tinggi, Patoppoi berusaha untuk menemui Dr.Teo secara langsung. Atas bantuan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, Sampurno, Patoppoi dapat menemui Dr.Teo di Penang, Malaysia. Di kantor Pusat Cancer Care Penang, Malaysia, Patoppoi mendapat penerangan lebih lanjut mengenai riset tanaman yang saat ditemukan memiliki nama Indonesia. Ternyata saat Patoppoi mendapat buku “Cancer, Yet They Live” edisi revisi tahun 1999, fax yang dikirimnya di masukkan dalam buku tersebut, serta pengalaman isterinya dalam usahanya berperang melawan kanker. Dari pembicaraan mereka, Dr. Teo merekomendasi agar Patoppoi mendirikan perwakilan Cancer Care di Jakarta dan Surabaya. Maka secara resmi, Patoppoi dan putranya diangkat sebagai perwakilan lembaga sosial Cancer Care Indonesia, yang juga disebutkan dalam buletin bulanan Cancer Care, yaitu di Jl. Kayu Putih Empat No. 5, Jakarta, telp. 021-4894754, dan di Buduran, Sidoarjo. Cancer Care Malaysia telah mengembangkan bentuk pengobatan tersebut secara lebih canggih. Mereka telah memproduksi ekstrak Keladi Tikus dalam bentuk pil dan teh bubuk yang dikombinasikan dengan berbagai tananaman lainnya dengan dosis tertentu. “Dosis yang diperlukan tergantung penyakit yang diderita,” kata Boni. Untuk mendapatkan obat tersebut, penderita harus mengisi formulir yang menanyakan keadaan dan gejala enderita dan akan dikirimkan melalui fax ke Dr. Teo. “Formulir tersebut dapat diisi disini, dan akan kami fax-kan. Kemudian Dr. Teo sendiri yang akan mengirimkan resep sekaligus obatnya, dengan harga langsung dari Malaysia, sekitar 40-60 Ringgit Malaysia,” lanjut Boni. “Jadi pasien hanya membayar biaya fax dan obat, kami tidak menarik keuntungan, malahan untuk yang kurang mampu, Dr.Teo bisa memberikan perpanjang an waktu pembayaran.” tambahnya. Sebenarnya pengobatan ini juga didukung dan sedang dicoba oleh salah satu dokter senior di Surabaya, pada pasiennya yang mengidap kanker ginjal. Ada dua pasien yang sedang dirawat dokter yang pernah menjabat sebagai direktur salah satu rumah sakit terbesar di Surabaya ini. Pasien pertama yang mengidap kanker rahim tidak sempat diberi pengobatan dengan keladi tikus, karena telah ditangani oleh rekan-rekan dokter yang telah memiliki reputasi. Setelah menjalani kemoterapi dan radiologi, pasien tersebut mengalami kerontokan rambut, kulit rusak dan gatal, dan selalu muntah. Tetapi pada pasien kedua yang mengidap kanker ginjal, dokter ini menanganinya sendiri dan juga memberikan pil keladi tikus untuk membantu proses penyembuhan kemoterapi. Pada pasien kedua ini, tidak di temui berbagai efek yang dialami penderita pertama, bahkan pasien tersebut kelihatan normal. Tetapi dokter ini menolak untuk diekspos karena menurutnya, pengobatan ini belum resmi diteliti di Indonesia. Menurutnya, jika rekan-rekannya mengetahui bahwa dia memakai pengobatan alternatif, mereka akan memberikan predikat sebagai “ter-kun” atau dokter- dukun. “Disinilah gap yang terbuka antara pengobatan konvensional dan modern,” kata dokter tersebut. Banyak hal menarik yang dialami Boni selama menerima dan memberi kan bantuan kepada berbagai pasien. Bahkan ada pecandu berat putaw dan sabu-sabu di Surabaya, yang pada akhirnya pecandu tersebut mendapat kanker paru-paru. Setelah mendapat vonis kanker paru-paru stadium III, pasien tersebut mengkonsumsi pil dan the dari Cancer Care. Hasilnya cukup mengejutkan, karena ternyata obat tersebut dapat mengeluarkan racun narkoba dari peredaran darah penderita dan mengatasi keter gantungan pada narkoba tersebut. “Tapi, jika pecandu sudah bisa menetralisir racun dengan keladi tikus, dia tidak boleh memakai narkoba lagi, karena pasti akan timbul resistensi. Jadi jangan seperti kebo, habis mandi berkubang lagi,” sambung Boni sambil tertawa. Juga ada pengalaman pasien yang meraung-raung kesakitan akibat serangan kanker yang menggerogotinya, karena obat penawar rasa sakit sudah tidak mempan lagi. Setelah diberi minum sari keladi tikus, beberapa saat kemudian pasien tersebut tenang dan tidak lagi merasa kesakitan. Menurut data Cancer Care Malaysia, berbagai penyakit yang telah disembuhkan adalah berbagai kanker dan penyakit berat seperti kanker payudara, paru-paru, usus besar- rectum, liver, prostat, ginjal, leher rahim, tenggorokan, tulang, otak, limpa, leukemia, empedu, pankreas, dan hepatitis. Jadi diharapkan agar hasil penelitian yang menghabiskan milyaran Ringgit Malaysia selama 5 tahun dapat benar-benar berguna bagi dunia kesehatan.

Di kutip dari: situs: Pengusaha Muda Sukses di masa Depan.

Keladi Tikus Berkasiat Obati Kanker

Keladi Tikus, Orang banyak mengenal keladi sebagai umbi talas yang bisa menjadi salah satu bahan untuk makanan. Jenisnya pun berbeda-beda. Di Papua, talas menjadi bahan makanan pokok. Namun, keladi tikus berbeda lagi dari yang biasa. Keladi tikus lebih banyak dijadikan bahan untuk obat tradisional.
Keladi tikus (typhonium flagiliforme) mulai banyak dan semakin dikenal sebagai bahan untuk obat pembasmi kanker payudara. Di sebut keladi tikus karena ukurannya kecil daripada keladi biasa. Terna menahun ini berukuran tinggi 10 sampai 45 centimeter. Bagian yang lebih mirip binatang tikus adalah mahkota bunganya yang berwarna putih, berbentuk panjang kecil, mirip ekor tikus.Tanaman berbatang basah ini banyak tumbuh di tempat terbuka pada ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Daun tunggalnya muncul dari umbi. Bentuk daunnya bulat denga n ujung meruncing berbentuk jantung. Warnanya hijau segar. Umbi keladi tikus ini berbentuk bulat rata sebesar buah pala. Bagian dalam maupun luar umbi berwarna putih. Untuk perkembangbiakannya, bisa menggunakan umbinya atau anakan yang tumbuh dari umbi tersebut. Pada musim kemarau, batangnya menghilang. Sedangkan pada musim hujan, tumbuhan ini muncul lagi di atas permukaan tanah dari umbi yang terpendam di dalam tanah.
Menurut Potopoy Pasau yang banyak menggunakan keladi tikus sebagai obat tradisional, tanaman ini tak berdaun di musim panas seperti sekarang ini. Karena itu, ia merasa kesulitan menemukannya. Ia mengaku, untuk obat tradisional, ia tak mengembangbiakan sendiri, melainkan mencari di tempat-tempat tumbuhnya keladi tikus ini. ”Keladi tikus lebih banyak digunakan untuk pengobatan kanker, khususnya kanker payudara.
Bagian yang digunakan adalah seluruh tanamannya, baik daun, hingga ke umbinya. Semuanya digerus dan ditambah air sedikit. Air sari ngannya itu yang diminum rutin,” ujar Patopoy. Tanaman ini terasa hangat, asam, dan beracun. Keladi tikus berkhasiat sebagai antiradang, antipembengkakan, dan dapat membekukan darah atau mengurangi pendarahan. Karena mengandung racun, keladi tikus bisa menimbulkan gatal pada tenggorokan, mulut, dan kulit. Untuk mengatasi racun tersebut, perlu perlakuan khusus seperti mencucinya dalam air mengalir. Selain itu, bisa juga ditambahkan madu untuk menghilangkan gatal di mulut.
Keladi yang punya nama laoshu yu (Tionghoa) itu ternyata sudah banyak digunakan dan dibuat dalam obat paten. Obat itu dibentuk dalam tablet. Hanya saja, untuk penyakit yang parah, konsultasi ke dokter tetap dianjurkan. Untuk pemakaian luar, seluruh tanaman keladi tikus dicampur beberapa bahan lain, dihaluskan dan ditempelkan pada bagian yang sakit. Sedangkan, untuk pemakaian dalam, sebanyak 50 gram keladi tikus dam bahan lainnya dihaluskan, ditambah air matang, disaring dan diminum.
Beberapa penyakit bisa diatasi dengan pengobatan luar dengan keladi tikus. Contohnya saja, pertolongan pertama untuk gigitan lipan atau ular, radang kulit (pyoderma), bisul (furunculus), tumor yang berasal dari pembuluh darah (hemangioma), luka, borok, koreng, dan patek (frambusia).
Penyakit yang bisa diatasi lewat pemakaian dalam antara lain kanker payudara. Untuk penyakit ini, digunakan seluruh bagian tanaman keladi tikus, dihaluskan dan ditambah 40 cc air matang, lalu disaring. Bisa ditambahkan madu ke dalamnya. Diamkan selama 30 menit sebelum makan. Larutan itu diminum rutin tiga kali sehari. Hanya saja, bagi penderita gangguan lambung, larutan ini diminum setelah makan. wed
Sumber: Republika online