Lokasi

https://goo.gl/maps/sHQx3zNBn9bhHFuR8

Translate

Minggu, 10 Februari 2013

SIAPA (PUN) INGIN MENJADI PUSTAKAWAN?

“Gambaran secara kuantitatif sumber daya tenaga perpustakaan di instansi pembina tersebut juga tidak jauh berbeda dengan kondisi pada tingkat nasional. Sumber daya tenaga perpustakaan Indonesia memperlihatkan tingkat dan latar-belakang pendidikan formal yang heterogin, karena jumlah Pustakawan (pejabat fungsional Pustakawan) di Indonesia yang hanya berjumlah 2.867 orang tersebut, lebih dari  sepertiganya adalah Pustakawan inpassing.
“Kondisi tersebut perlu segera di atasi, meskipun hasilnya memerlukan waktu lama atau berjangka panjang, yaitu melalui program pendidikan lanjutan secara formal dan pelatihan, guna meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya tenaga perpustakaan, di samping pembinaannya secara internal.”
Berdasarkan definisi dari Hernandono tersebut dapat disimpulkan bahwa sejak pemberlakukan “Kepmenpan No. 18 Tahun 1988 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan” telah terbuka peluang bagi para pegawai yang tidak berlatar belakang pendidikan formal IP&I untuk menjadi pustakawan.
II. Kepmenpan No. 132 Tahun 2002 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan.
Bagian Ketentuan Umum Kepmenpan ini memuat dua ketentuan mengenai latar belakang pendidikan untuk menjadi pustakawan, yakni:
“Pustakawan tingkat terampil adalah Pustakawan yang memiliki dasar pendidikan untuk pengangkatan pertama kali serendah-rendahnya Diploma II Perpustakaan, Dokumentasi dan Informasi atau Diploma bidang lain yang disetarakan” (Pasal 1, No. 4).
“Pustakawan tingkat ahli adalah Pustakawan yang memiliki dasar pendidikan untuk pengangkatan pertama kali serendah-rendahnya Sarjana Perpustakaan, Dokumentasi dan Informasi atau Sarjana bidang lain yang disetarakan” (Pasal 1, No. 5).
Dengan demikian, Kepmenpan ini membuka peluang bagi para pegawai negeri sipil dengan latar belakang pendidikan bukan IP&I untuk menduduki jabatan fungsional sebagai pustakawan melalui apa yang disebut dengan istilah “penyetaraan”.
III. Undang-Undang 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan.
Peluang bagi pegawai yang hendak menjadi pustakawan kendati tidak berlatar belakang pendidikan IP&I juga disahkan dalam Undang-Undang Perpustakaan. Peluang tersebut tersurat dalam ketentuan umum sebagai berikut:
“Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan (cetak tebal oleh penulis) serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan” (Pasal 1, No. 8).
Kendati belum ada Peraturan Pemerintah (PP) untuk Undang-Undang ini, yang mana salah satu PP untuk UU Perpustakaan ini akan mengatur tentang “Standar Tenaga Perpustakaan”, Abdul Rahman Saleh (Pustakawan Utama Perpustakaan IPB) dalam artikelnya (dipublikasikan pada 26 Mei 2010) yang berjudul “Persoalan-persoalan Kepustakawanan Sebagai Konsekuensi Terbitnya UU 43 tahun 2007″ mensinyalir bahwa draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) untuk UU Perpustakaan sudah mencapai tahap akhir. Saleh menambahkan bahwa RPP tersebut memuat ketentuan bahwa gerbang masuk kepada profesi Pustakawan dimulai dari tingkat Sarjana (Sarjana Perpustakaan ataupun Sarjana bidang lain ditambah pendidikan perpustakaan).
http://rahman.staff.ipb.ac.id/2010/05/26/persoalan-persoalan-kepustakawanan-sebagai-konsekuensi-terbitnya-uu-43-tahun-2007/
Sinyalemen Saleh tersebut dapat menjadi rujukan sementara bahwa pedoman operasional UU Perpustakaan masih akan memuat ketentuan tentang peluang menjadi pustakawan bagi pegawai tanpa pendidikan formal IP&I.
Kembali ke isi UU Perpustakaan, saya hendak sedikit mengupas beberapa bagian UU ini yang mengatur tentang pendidikan untuk pustakawan, yakni Pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 UU Perpustakaan yang berbunyi sbb:
(1) Pendidikan untuk pembinaan dan pengembangan tenaga perpustakaan merupakan tanggung jawab penyelenggara perpustakaan.
(2) Pendidikan untuk pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendidikan formal dan/atau nonformal.
(3) Pendidikan untuk pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui kerja sama Perpustakaan Nasional, perpustakaan umum provinsi, dan/atau perpustakaan umum kabupaten/kota dengan organisasi profesi, atau dengan lembaga pendidikan dan pelatihan.
Saya khusus ingin menyoroti ayat 2 dan 3 tentang jenis pendidikan dan penyelenggara pendidikan tersebut dengan cara mengaitkannya dengan ketentuan tentang “pendidikan formal” dan “pendidikan nonformal” yang diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
UU 20/2003 Tentang Sisdiknas memuat batasan-batasan untuk istilah pendidikan formal dan nonformal, yakni:
“Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi” (Pasal 1, No. 11).
“Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang” (Pasal 1, No. 12).
Pasal 26, ayat 2, UU 20/2003 memuat penjelasan bahwa pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Salah satu jenis pendidikan nonformal, sebagaimana dimuat dalam ayat 3 untuk pasal yang sama, adalah “pendidikan kesetaraan”.
Perihal kesetaraan tersebut makin diperjelas dalam ayat 6 yang berbunyi:
“Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.”
Maka jelaslah bahwa melalui jalur pendidikan nonformal dan penyetaraan inilah para pegawai tak berlatar belakang pendidikan IP&I dapat menjadi menjadi pustakawan.
Penyelenggara pendidikan nonformal yang bersinonim dengan pelatihan untuk penyetaraan tersebut adalah “Pusat Pendidikan dan Pelatihan” yang adalah bagian dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI).
http://pusdiklat.pnri.go.id/
IV. Permendiknas 25/2008 Tentang Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah.
Saya masih ingin mengaitkan antara rujukan hukum untuk bidang perpustakaan dengan pendidikan, yang mana fokusnya adalah perpustakaan sekolah.
Permendiknas 25/2008 memuat ketentuan perihal kualifikasi untuk “Kepala Perpustakaan” serta “Tenaga Perpustakaan” untuk
Sekolah/Madrasah. Regulasi ini memuat ketentuan bahwa untuk menjabat sebagai Kepala Perpustakaan, apabila ia adalah seseorang yang meniti karier melalui Jalur Pendidik (baca: sebagai guru), maka ia harus berkualifikasi serendah-rendahnya Diploma Empat (D4) atau Sarjana (S1).
Tidak ketentuan tentang IP&I. Dengan demikian, seorang guru, dari latar belakang pendidikan (D4 maupun S1) apapun dapat menjadi Kepala Perpustakaan Sekolah/Madrasah, dengan catatan tambahan ia harus telah menjalani masa kerja minimal tiga tahun serta harus memiliki sertifikat kompetensi pengelolaan perpustakaan sekolah/madrasah dari lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah.
Kepala Perpustakaan Sekolah/Madrasah juga dapat dijabat oleh pegawai yang meniti karier melalui Jalur Tenaga Kependidikan. Sebagaimana diatur dalam UU 20/2003 tentang Sisdiknas, “Tenaga Kependidikan” meliputi pengelola satuan pendidikan, penilik, pamong belajar, pengawas, peneliti, pengembang, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar. Mereka yang masuk kategori ini dapat menjadi Kepala Perpustakaan dengan syarat-syarat:
1. Berkualifikasi diploma dua (D2) Ilmu Perpustakaan dan Informasi bagi pustakawan dengan masa kerja minimal 4 tahun; atau;
2. Berkualifikasi diploma dua (D2) non-Ilmu Perpustakaan dan Informasi dengan sertifikat kompetensi pengelolaan perpustakaan sekolah/madrasah dari lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah dengan masa kerja minimal 4 tahun di perpustakaan sekolah/madrasah.
Dua ketentuan tersebut jelas-jelas membuka peluang bagi mereka yang tak berlatar belakang pendidikan formal IP&I untuk menjadi Kepala Perpustakaan Sekolah/Madrasah.
Terakhir, Permendiknas 25/2008 mengatur tentang “Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah” yang berkualifikasi lulusan SMA atau yang sederajat dan bersertifikat kompetensi pengelolaan perpustakaan sekolah/madrasah dari lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah.
***
Penelusuran atas kebijakan-kebijakan pemerintah terkait profesi pustakawan menunjukkan bahwa pemerintah memang membuka peluang bagi orang-orang yang tak berpendidikan formal IP&I untuk menjadi pustakawan. Menurut saya, landasan-landasan hukum serta implementasi atas regulasi-regulasi itulah yang membangun persepsi/keyakinan di tengah masyarakat dan birokrasi bahwa profesi pustakawan bukanlah suatu profesi khusus yang mensyaratkan seseorang harus berpendidikan formal IP&I. Dus, profesi pustakawan menjadi sebuah arena yang terbuka bagi siapapun yang berlatar belakang pendidikan formal non-IP&I, kemudian menempuh pendidikan nonformal di bidang perpustakaan. Jadilah ia “Sang Pustakawan” itu.