“Gambaran secara kuantitatif sumber daya
tenaga perpustakaan di instansi pembina tersebut juga tidak jauh
berbeda dengan kondisi pada tingkat nasional. Sumber daya tenaga
perpustakaan Indonesia memperlihatkan tingkat dan latar-belakang
pendidikan formal yang heterogin, karena jumlah Pustakawan (pejabat
fungsional Pustakawan) di Indonesia yang hanya berjumlah 2.867 orang
tersebut, lebih dari sepertiganya adalah Pustakawan inpassing.
“Kondisi tersebut perlu segera di atasi,
meskipun hasilnya memerlukan waktu lama atau berjangka panjang, yaitu
melalui program pendidikan lanjutan secara formal dan pelatihan, guna
meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya tenaga perpustakaan, di
samping pembinaannya secara internal.”
Berdasarkan definisi dari Hernandono
tersebut dapat disimpulkan bahwa sejak pemberlakukan “Kepmenpan No. 18
Tahun 1988 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan” telah terbuka peluang
bagi para pegawai yang tidak berlatar belakang pendidikan formal
IP&I untuk menjadi pustakawan.
II. Kepmenpan No. 132 Tahun 2002 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan.
Bagian Ketentuan Umum Kepmenpan ini memuat dua ketentuan mengenai latar belakang pendidikan untuk menjadi pustakawan, yakni:
“Pustakawan tingkat terampil adalah
Pustakawan yang memiliki dasar pendidikan untuk pengangkatan pertama
kali serendah-rendahnya Diploma II Perpustakaan, Dokumentasi dan
Informasi atau Diploma bidang lain yang disetarakan” (Pasal 1, No. 4).
“Pustakawan tingkat ahli adalah
Pustakawan yang memiliki dasar pendidikan untuk pengangkatan pertama
kali serendah-rendahnya Sarjana Perpustakaan, Dokumentasi dan Informasi
atau Sarjana bidang lain yang disetarakan” (Pasal 1, No. 5).
Dengan demikian, Kepmenpan ini membuka
peluang bagi para pegawai negeri sipil dengan latar belakang pendidikan
bukan IP&I untuk menduduki jabatan fungsional sebagai pustakawan
melalui apa yang disebut dengan istilah “penyetaraan”.
III. Undang-Undang 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan.
Peluang bagi pegawai yang hendak menjadi
pustakawan kendati tidak berlatar belakang pendidikan IP&I juga
disahkan dalam Undang-Undang Perpustakaan. Peluang tersebut tersurat
dalam ketentuan umum sebagai berikut:
“Pustakawan adalah seseorang yang
memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan
kepustakawanan (cetak tebal oleh penulis) serta mempunyai tugas dan
tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan
perpustakaan” (Pasal 1, No. 8).
Kendati belum ada Peraturan Pemerintah
(PP) untuk Undang-Undang ini, yang mana salah satu PP untuk UU
Perpustakaan ini akan mengatur tentang “Standar Tenaga Perpustakaan”,
Abdul Rahman Saleh (Pustakawan Utama Perpustakaan IPB) dalam artikelnya
(dipublikasikan pada 26 Mei 2010) yang berjudul “Persoalan-persoalan
Kepustakawanan Sebagai Konsekuensi Terbitnya UU 43 tahun 2007″
mensinyalir bahwa draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) untuk UU
Perpustakaan sudah mencapai tahap akhir. Saleh menambahkan bahwa RPP
tersebut memuat ketentuan bahwa gerbang masuk kepada profesi Pustakawan
dimulai dari tingkat Sarjana (Sarjana Perpustakaan ataupun Sarjana
bidang lain ditambah pendidikan perpustakaan).
http://rahman.staff.ipb.ac.id/2010/05/26/persoalan-persoalan-kepustakawanan-sebagai-konsekuensi-terbitnya-uu-43-tahun-2007/
Sinyalemen Saleh tersebut dapat menjadi
rujukan sementara bahwa pedoman operasional UU Perpustakaan masih akan
memuat ketentuan tentang peluang menjadi pustakawan bagi pegawai tanpa
pendidikan formal IP&I.
Kembali ke isi UU Perpustakaan, saya
hendak sedikit mengupas beberapa bagian UU ini yang mengatur tentang
pendidikan untuk pustakawan, yakni Pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 UU
Perpustakaan yang berbunyi sbb:
(1) Pendidikan untuk pembinaan dan pengembangan tenaga perpustakaan merupakan tanggung jawab penyelenggara perpustakaan.
(2) Pendidikan untuk pembinaan dan
pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
pendidikan formal dan/atau nonformal.
(3) Pendidikan untuk pembinaan dan
pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui
kerja sama Perpustakaan Nasional, perpustakaan umum provinsi, dan/atau
perpustakaan umum kabupaten/kota dengan organisasi profesi, atau dengan
lembaga pendidikan dan pelatihan.
Saya khusus ingin menyoroti ayat 2 dan 3
tentang jenis pendidikan dan penyelenggara pendidikan tersebut dengan
cara mengaitkannya dengan ketentuan tentang “pendidikan formal” dan
“pendidikan nonformal” yang diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
UU 20/2003 Tentang Sisdiknas memuat batasan-batasan untuk istilah pendidikan formal dan nonformal, yakni:
“Pendidikan formal adalah jalur
pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi” (Pasal 1, No. 11).
“Pendidikan nonformal adalah jalur
pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara
terstruktur dan berjenjang” (Pasal 1, No. 12).
Pasal 26, ayat 2, UU 20/2003 memuat
penjelasan bahwa pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi
peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan
keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian
profesional. Salah satu jenis pendidikan nonformal, sebagaimana dimuat
dalam ayat 3 untuk pasal yang sama, adalah “pendidikan kesetaraan”.
Perihal kesetaraan tersebut makin diperjelas dalam ayat 6 yang berbunyi:
“Hasil pendidikan nonformal dapat
dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui
proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah
atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.”
Maka jelaslah bahwa melalui jalur
pendidikan nonformal dan penyetaraan inilah para pegawai tak berlatar
belakang pendidikan IP&I dapat menjadi menjadi pustakawan.
Penyelenggara pendidikan nonformal yang
bersinonim dengan pelatihan untuk penyetaraan tersebut adalah “Pusat
Pendidikan dan Pelatihan” yang adalah bagian dari Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia (PNRI).
http://pusdiklat.pnri.go.id/
IV. Permendiknas 25/2008 Tentang Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah.
Saya masih ingin mengaitkan antara
rujukan hukum untuk bidang perpustakaan dengan pendidikan, yang mana
fokusnya adalah perpustakaan sekolah.
Permendiknas 25/2008 memuat ketentuan perihal kualifikasi untuk “Kepala Perpustakaan” serta “Tenaga Perpustakaan” untuk
Sekolah/Madrasah. Regulasi ini memuat ketentuan bahwa untuk menjabat
sebagai Kepala Perpustakaan, apabila ia adalah seseorang yang meniti
karier melalui Jalur Pendidik (baca: sebagai guru), maka ia harus
berkualifikasi serendah-rendahnya Diploma Empat (D4) atau Sarjana (S1).
Tidak ketentuan tentang IP&I. Dengan demikian, seorang guru, dari
latar belakang pendidikan (D4 maupun S1) apapun dapat menjadi Kepala
Perpustakaan Sekolah/Madrasah, dengan catatan tambahan ia harus telah
menjalani masa kerja minimal tiga tahun serta harus memiliki sertifikat
kompetensi pengelolaan perpustakaan sekolah/madrasah dari lembaga yang
ditetapkan oleh pemerintah.
Kepala Perpustakaan Sekolah/Madrasah
juga dapat dijabat oleh pegawai yang meniti karier melalui Jalur Tenaga
Kependidikan. Sebagaimana diatur dalam UU 20/2003 tentang Sisdiknas,
“Tenaga Kependidikan” meliputi pengelola satuan pendidikan, penilik,
pamong belajar, pengawas, peneliti, pengembang, pustakawan, laboran, dan
teknisi sumber belajar. Mereka yang masuk kategori ini dapat menjadi
Kepala Perpustakaan dengan syarat-syarat:
1. Berkualifikasi diploma dua (D2) Ilmu Perpustakaan dan Informasi bagi pustakawan dengan masa kerja minimal 4 tahun; atau;
2. Berkualifikasi diploma dua (D2) non-Ilmu Perpustakaan dan Informasi
dengan sertifikat kompetensi pengelolaan perpustakaan sekolah/madrasah
dari lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah dengan masa kerja minimal 4
tahun di perpustakaan sekolah/madrasah.
Dua ketentuan tersebut jelas-jelas
membuka peluang bagi mereka yang tak berlatar belakang pendidikan formal
IP&I untuk menjadi Kepala Perpustakaan Sekolah/Madrasah.
Terakhir, Permendiknas 25/2008 mengatur
tentang “Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah” yang berkualifikasi
lulusan SMA atau yang sederajat dan bersertifikat kompetensi pengelolaan
perpustakaan sekolah/madrasah dari lembaga yang ditetapkan oleh
pemerintah.
***
Penelusuran atas kebijakan-kebijakan
pemerintah terkait profesi pustakawan menunjukkan bahwa pemerintah
memang membuka peluang bagi orang-orang yang tak berpendidikan formal
IP&I untuk menjadi pustakawan. Menurut saya, landasan-landasan hukum
serta implementasi atas regulasi-regulasi itulah yang membangun
persepsi/keyakinan di tengah masyarakat dan birokrasi bahwa profesi
pustakawan bukanlah suatu profesi khusus yang mensyaratkan seseorang
harus berpendidikan formal IP&I. Dus, profesi pustakawan menjadi
sebuah arena yang terbuka bagi siapapun yang berlatar belakang
pendidikan formal non-IP&I, kemudian menempuh pendidikan nonformal
di bidang perpustakaan. Jadilah ia “Sang Pustakawan” itu.